Krisis Pangan Makin Buruk, Golkar: Akibat Anomali Cuaca dan Dampak Perang Rusia vs Ukraina

JAKARTA, - Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Subagyo menilai suka tidak suka semua pihak harus menghadapi ancaman krisis pangan yang dialami dunia saat ini.

Diketahui Beberapa kalangan menilai ancaman krisis pangan yang dialami dunia saat ini merupakan kondisi terburuk. Bahkan, kondisinya lebih buruk dibandingkan krisis pangan di tahun 2018.

"Karena ini konsekuensi daripada krisis ekonomi global akibat anomali cuaca dan dampak dari perang Rusia vs Ukraina. Dan dampak, adanya pandemi covid-19 yg sampai sekarang belum usai juga semakin memperparah kondisi perekonomian global kata Firman kepada wartawan di Jakarta, Jumat (22/7/2022).

Legislator Partai Golkar ini menuturkan, dirinya sejak tahun 2009 sudah terus menerus menyuarakan pentingnya swasembada pangan untuk menuju kedaulatan pangan nasional dan ketika itu ia juga mendorong agar segera badan pangan nasional segera dibentuk untuk mempersiapkan dan kemungkinan terjadinya krisis pangan tersebut.

Hal tersebur karena sudah selalu di warning oleh lembaga-lembaga internasional seperti PBB, FAO telah merilis diperkirakan, populasi penduduk dunia akan terjadi kenaikan cukup tajam di tahun 2050 diperkirakan akan mencapai angka 9,7 milliar penduduk dunia sedangkan, Indonesia di tahun 2030 rilis Bappenas diperkirakan penduduk Indonesia akan naik menjadi 300 juta penduduk.

"Artinya akan ada kenaikan dua kebutuhan besar yaitu energi dan pangan akan mengalami kenaikan signifikan, oleh karena itu kalau kita tidak bersandar kepada pangan pokok prudiksi nasional dan kita tidak melakukan deversifikasi pangan sesuai imbauan Presiden. Disamping itu kita harus juga melakukan subtitusi pangan," ujarnya.

Anggota Baleg ini melanjutkan, subtitusi pangan itu dilakukan untuk mengatasi ketergantungan bahan kebutuan pangan import. Contoh saja mie dalam negeri saja masih bergantung kepada bahan baku gandum impor dari ukraina diperkirakan 1,3 juta ton per tahun belum impor dari India.

Oleh karena itu, semua pihak harus melakukan subtitusi pangan dengan menggunakan tepung singkong atau mokaf sebagai pengganti ketergantungan gandum import tersebut.

"Kalau tidak dilakukan maka kita akan terjebak dalam ketergantungan bahan baku impor itu beresiko tinggi dengan harga semakin tidak bisa terkendali. Disamping pemerintah juga harus mulai melakukan evaluasi terhadap terhadap produksi pertanian tutur,” tutur Legislator Dapil Jateng III ini.

Disamping itu, penggunaan pupuk kimia berlebihan juga bisa berpengaruh terhadap produksi hasil pertanian nasional.

“Untuk itu kita harus melakukan gerakan menggunakan Pupuk Organik dalam rangka memperbaiki unsur kesuburan lahan dan meningkatkan produksi nasional,” terangnya.

Sekarang ini, menurut Firman banyak lahan pertanian dalam negeri tidak produktif, karena pupuknya itu berlebihan menggunakan pupuk kimia atau pupuk urea.

Oleh karenanya, pupuk subsidi itu jangan dikonsentrasikan hanya pupuk urea tapi juga pupuk organik sumbernya dari produk masyarakat hasilnya jaih lebih baik dan jangan bersumber dari BUMN saja, tetapi juga pupuk organik produksi masyarakat sudah dikeluarkan sertifikasinya oleh pemerintah.

"Ini bentuk kehadiran negara karena pupuk organik ini akan bisa mengobati lahan-lahan petani yg sudah sakit akibat menggunakan pupuk kimia yg berlebihan dan itu dapat diperbaiki dengan menggunakan pupuk organik. Sehingga dengan pupuk organik bisa memulihkan kesuburan lahan dan dapat meningkatkan produksi pangan nasional kita," tegasnya.

Sebelumnya, Pengamat pangan IPB, Sahara, menilai kondisi krisis pangan yang dialami dunia saat ini merupakan kondisi terburuk.

"Kondisi krisis pangan saat ini cukup mengkhawatirkan, krisis pangan di tahun 2022 lebih dahsyat dibandingkan tahun 2018," ujarnya dalam Market Review IDXChannel, Kamis (21/7/2022).

Menurutnya, kondisi krisis pangan saat ini diperparah akibat adanya pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, serta pembatasan dari berbagai negara dalam mengekspor kebutuhan pokok. Selain itu, adanya guncangan dari sisi penawaran dan permintaan terhadap kebutuhan pangan dunia memicu kenaikan harga pangan yang signifikan.

"Guncangan dari sisi permintaan itu terjadi ketika penurunan produksi pangan akibat kondisi cuaca buruk. Kenaikan harga energi yang mendorong harga pupuk dan ditambah perang," katanya.

Sahara mengatakan, guncangan permintaan terhadap kebutuhan pangan tersebut berdampak terhadap daya beli masyarakat yang turun. Pasalnya, harga pangan yang semakin tinggi sehingga akses terhadap kebutuhan pangan sulit untuk dibeli oleh masyarakat.

Dirinya pun memprediksi bahwa kenaikan harga pangan akan terus berlangsung selama kondisi perang serta pembatasan ekspor terhadap kebutuhan pangan terjadi. (***)



sumber: www.jitunews.com